Minggu, 24 April 2011

TERITORIALITAS, PRIVASI DAN RUANG PERSONAL

NAMA : GISKA ARINDRA

KELAS : 3PA06

NPM : 10508093




A. TERITORIALITAS


1. Definisi Teritorialitas


Holahan (dalam Iskandar, 1990) mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain.


Teritorial merupakan suatu pola tingkah laku yang berhubungan dengan kepemilikan atau hak seseorang atau kelompok orang atas personalisasi dan juga merupakan pertahanan terhadap gangguan dari luar.


Pembentukan kawasan teritotial adalah mekanisme perilaku untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas batas-batasan antar diri dengan orang lain, maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relative tetap.


2. Karakter Teritorial


Menurut Lang (1987), terdapat 4 karakter dari territorial tersebut yaitu meliputi:

1. Kepemilikan atu hak dari suatu tempat

2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu

3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar

4. Pengatur dari berbagai fungsi , mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan – kebutuhan estetika


3. Territorial dapat di bagi menjadi beberapa bagian yang meliputi:


a. Teritorial Primer

Territorial yang dipergunakan untuk secara khusus dari kepemilikannya.


b. Teritorial Sekunder

Territorial yang dipergunakan untuk setiap orang dengan pemakaian dan pengontrolan oleh perorangan.


c. Teritorial Umum

Territorial yang dipergunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana territorial umum itu berada.


Altman membagi teritorialitas berdasarkan derajat privasi, afiliasi, dan kemungkinan pencapaian menjadi tiga; teritori primer, teritori sekunder, dan teritori publik:

1. Teritori primer, adalah tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya, hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah mendapatkan izin khusus. Jenis teritori ini dimiliki serta dipewrgunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya.

Contoh : pekarangan, ruang tidur, ruang kerja.


2. Teritori sekunder, adalah tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Sifat territorial sejunder adalah semi-publik.

Contoh : toilet, sirkulasi lalu intas di dalam kantor


3. Teritori publik, adalah tempat-tempat yang terbuka untuk umum. teritorial umum dapat digunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Pada prinsipnya setiap orang diperkenankan untuk berada di tempat tersebut.

Contoh : gednung bioskop, ruang kuliah, pusat perbelanjaan dll


4. Teritorialitas berfungsi sebagai proses sentral dalam personalisasi, agresi, dominasi, koordinasi dan kontrol.


a). Personalisasi dan penandaan.

Personalisasi dan penandaan seperti memberi nama, tanda atau menempatkan di lokasi strategis, bisa terjadi tanpa kesadaran teritorialitas. Seperti membuat pagar batas, memberi nama kepemilikan. Penandaan juga dipakai untuk mempertahankan haknya di teritori publik, seperti kursi di ruang publik atau naungan.


b). Agresi.

Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras bila terjadi pelanggaran di teritori primernya dibandingkan dengan pelanggaran yang terjadi diruang publik. Agresi bisa terjadi disebabkan karena batas teritori tidak jelas.


c). Dominasi dan Kontrol.

Dominasi dan kontrol umumnya banyak terjadi di teritori primer. Kemampuan suatu tatanan ruang untuk menawarkan privasi melalui kontrol teritori menjadi penting.


5. Teritori sebagai perisai perlindungan.

Banyak individu atau kelompok rela melakukan tindakan agresi demi melindungi teritorinya, maka kelihatannya teritori tersebut memiliki beberapa keuntungan atau hal yang dianggap penting. Kebenaran dari kalimat ” Home Sweet Home”, telah diuji dalam berbagai eksperimen. Penelitian mengenai teritori primer, skunder, dan publik menunjukkan, bahwa orang cenderung merasa memiliki kontrol terbesar pada teritori primer, dibanding dengan teritori sekunder maupun teritori publik. Ketika individu mempresepsikan daerah teritorinya sebagai daerah kekuasaannya, itu berarti mempunyai kemungkinan untuk mencegah segala kondisi ketidak nyamanan terhadap teritorinya.

Seringkali desain ruang publik tidak memperhatikan kebutuhan penghuninya untuk memanfaatkan teritori yang dimilikinya.


B. Privasi

adalah Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (DibyoHartono, 1986). Privasi adalah salah satu konsep dari gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya, dimana konsep ini amat dekat dengan konsep ruang personal dan teritorialitas.


Konsep ‘privacy’ dalam arsitektur bisa diartikan sebagai suatu kebutuhan manusia untuk menikmati sebagian dari kehidupan sehari-harinya tanpa ada gangguan baik langsung maupun tidak langsung oleh subjek lain. Hal ini dinyatakan dalam suatu ruang yang tertutup dari jangkauan pandangan maupun fisik dari pihak luar. Jadi jelas ada batasan-batasan fisik untuk mencapainya.


Beberapa definisi tentang privasi mempunyai kesamaan yang menekankan pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam mengontrol interaksi panca inderanya dengan pihak lain. Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki oleh seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar dengan berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain, dengan cara mendekati atau menjauhinya. Lang (1987) berpendapat bahwa tingkat dari privasi tergantung dari pola-pola perilaku dalam konteks budaya dan dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu. Rapoport (dalam Soesilo, 1988) mendefinisikan dan sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Dan jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrightman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli lain (seperti Bates, 1964; Kira, 1966 dalam Altman, 1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukkan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya.


Altman (1975), hampir sama dengan yang dikatakan Rapoport, mendefinisikan privasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Menurutnya privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Definisi ini mengandung beberapa pengertian yang lebih luas. Pertama, unit sosial yang digambarkan bisa berupa hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok dan seterusnya. Kedua, penjelasan mengenai privasi sebagai proses dua arah; yaitu pengontrolan input yang masuk ke individu dari luar atau output dari individu ke pihak lain. Ketiga, definisi ini menunjukkan suatu kontrol yang selektif atau suatu proses yang aktif dan dinamis.


Altman (1975) menjabarkan beberapa fungsi privasi . Pertama, privasi adalah pengaturdan pengontrol interaksi interpersonal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain. Privasi dibagi menjadi dua macam, yaitu privasi rendah yang terjadi bila hubungan dengan orang lain dikehendaki, dan privasi tinggi yang terjadi bila ingin menyendiri dan hubungan dengan orang lain dikurangi. Fungsi privasi kedua adalah merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain, yang meliputi keintiman atau jarak dalam berhubungan dengan orang lain. Fungsi ketiga privasi adalah memperjelas identitas diri. Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :


a). Perilaku verbal

Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya. Misalnya “Maaf, saya tidak punya waktu”.


b). Perilaku non verbal

Perilaku ini dilakukan dengan menunjukkan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang. Misalnya seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupun terus-menerus melihat waktu yang menandakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya dengan mendekati dan menghadapkan muka, tertawa, menganggukkan kepala memberikan indikasi bahwa dirinya siap untuk berkomunikasi dengan orang lain.


c). Mekanisme kultural

Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang ‘menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu.


Privasi memiliki 2 jenis penggolongan :


1. Golongan yang berkeinginan untuk tidak diganggu secara fisik.
a. Keinginan untuk menyendiri (solitude)
Misalnya ketika seseorang sedang dalam keadaan sedih dia tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
b. Keinginan untuk menjauhkan dari pandangan atau gangguan suara tetangga / lalu lintas (seclusion), Misalnya saat seseorang ingin menenangkan pikirannya , ia pergi ke daerah pegunungan untuk menjauhkan diri dari keramaian kota.
c. Keinginan untuk intim dengan orang-orang tertentu saja, tetapi jauh dari semua orang (intimacy)
Misalnya orang yang pergi ke daerah puncak bersama orang-orang terdekat seperti keluarga.


2. Golongan yang berkeinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap perlu.
a. Keinginan untuk merahasiakan jati diri
b. Keinginan untuk tidak mengungkapkn diri terlalu banyak kepada orang lain
c. Keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga


v FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRIVASI


a) Faktor personal. Marshall (dalam Gifford, 1 987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonym dan reserve saat ia dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagian besar waktunya di kota akan lebih memilih keadaan anonym dan intimacy. Sementara itu Walden dan kawan-kawan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi. Dalam sebuah penelitian pada para penghuni asrama ditemukan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbedaan dalam merespon perbedaan keadaan antara ruangan yang berisi dua orang dengan ruangan yang berisi tiga orang. Dalam hubungannya dengan privasi, subjek pria lebih memilih ruangan yang berisi dua orang, sedangkan subjek wanita tidak mempennasalahkan keadaan dalam dua ruangan tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi dengan kepadatan yang lebih tinggi.


b) Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyendiri (Gifford, I987). Penelitian Marshall (dalam Gifford, 1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya privasi di dalam rumah antara lain disebabkan oleh setting rumah. Seting rumah di sini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah. Seseorang yang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain di sekitarnya dari jendela dikatakan memiliki kepuasan akan privasi yang lebih besar.


c) Faktor Budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987). Dua buah studi tersebut antara lain akan disajikan pada alinea-alinea berikut. ‘ Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukkan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat Arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal di dalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Gifford, 1987). Hasil pengamatan Gifford (1987 ) di suatu desa di bagian Selatan India menunjukkan bahwa semau keluarga memiliki rumah yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sangat sedikit privasi yang diperolehnya. Orang-orang desa tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukkan bahwa pengamatan yang dangkal seringkali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besamya antara orang Arab dengan orang India. Studi Patterson dan Chiswick (dalam Gifford, 1987) di bawah ini menggambarkan privasi masyarakat Iban, Serawak, Kalimantan. Orang-orang Iban tinggal di rumah panjang Dengan privasi yang (diduga) kurang, dimana kesempatan untuk menyendiri atau keintiman ada di belakang pintu-pintu yang tertutup. Apakah orang-orang Iban memiliki privasi yang amat memprihatinkan? Atau apakah mereka tidak membutuhkan privasi ? Patterson dan Chiswick menemukan orang Iban tampaknya membutuhkan privasi kira-kira sebanyak yang kita butuhkan, akan tetapi mereka melakukannya dengan mekanisme yang berbeda. Mekanisme-mekanisme ini adalah suatu kesepakatan sosial. Sebagai contoh, orang Iban memiliki cara khusus untuk berganti pakaian di daerah yang bersifat publik dengan cara yang sederhana. Terdapat aturan-aturan bagi anak-anak untuk mengurangi hal-hal yang tidak dinginkan dalam hubungannya dengan orang dewasa. Rumah panjang itu tertutup bagi anak-anak dalam banyak kesempatan. Pada saat mulai pubertas, ruang tidur anak mulai dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya. Geertz dalam suatu presentasi seminar seperti yang disebutkan oleh’Westin pada tahun 1970 (dalam Altman, 1975) menerangkan privasi keluraga pada masyarakat Jawa dan Bali.


Di Jawa, orang tinggal di rumah kecil dengan dinding dari bambu. Hampir semua rumah terdiri dari keluarga inti tunggal, yang terdiri dari ibu, ayah, dan anak yang belum menikah… Rumah-rumah berhadapan dengan jalan dengan halaman yang bersih di depan rumahnya. Tidak terdapat dinding atau pagardi sekeliling rumahnya, dinding- dinding (bambu) rumahnya tipis dan dianyam secara longgar, dan umumnya bahkan tanpa pintu. Di dalam rumah orang bebas untuk berlalu-lalang, bahkan orang luar dapat pula bebas berlalu-lalang di dalam rumah sepanjang hari atau pada sore hari. Singkatnya, privasi menurut isilah kita adalah tentang ketidaktertutupan yang diperoleh. Anda dapat berjalan bebas menuju privasi dimana pria dan wanita tidur berbaring (dalam keadaan berpakaian tentunya). Bila anda memasuki dari belakang ataupun dari depan rumah, maka anda akan menerima lebih banyak peringatan daripada sambutan yang yang akan mempermalukan kehadiran anda. Hasilnya adalah pertahanan mereka yang lebih bersifat psikologis. Hubungan–hubungan di dalam rumah tangga bahkan sangat terkendali: orang berbicara pelan, menyembunyikan perasaannya, dan apabila anda menjadi bagian dari keluarga Jawa, maka akan memiliki perasaan bahwa anda seperti berada di suatu alun-alun tetapi harus berperilaku sopan-santun yang sepantasnya. Orang Jawa menutup dirinya terhadap orang lain dengan suatu “dinding etiket” (di mana sopan-santun adalah hal yang dijaga dengan baik), dengan emosi yang terkendali, dan umumnya dengan kekurangterusterangan dalam kata dan tindakan. Hal ini tidak berarti bahwa orang Jawa tidak menginginkan atau tidak memiliki nilai privasi. Akan tetapi mereka memiliki semacam mekanisme untuk mengatur penghalang secara flsik dan sosial terhadap orang luar yang masuk secara fisik menuju rumah tangga mereka. mereka harus mengatumya secara psikologis dengan cara yang berbeda. Di Bali orang tinggal di dalam halaman rumah yang dikelilingi oleh dinding batu yang tinggi, di mana pintu masuknya sempit terbuat dari balok kayu yang dipotong setengahnya. Di dalam halaman tersebut tinggal beberapa keluarga inti (atau dalam istilah Antropologi disebut sebagai “patrilineal extended family “). Keluarga seperti itu. bisa terdiri dari satu atau belasan keluarga inti dengan anggota-anggotanya seperti pada keluarga Jawa, dimana para pemimpinnya adalah sanak saudara dari sistem patrilineal seperti: ayah, dua anak laki-lakinya yang sudah menikah, dua saudara laki- lakinya yang sudah menikah, ayahnya, Sangat kontras keadaannya dengan Jawa, orang yang bukan sanak saudaranya hampir tidak pernah memasuki halaman rumah. Di dalam halaman yang seperti benteng. orang luar lebih baik tidak terdorong untuk memasukinya. Sanak saudara lain boleh datang memasuki halaman untuk membicarakan sesuatu, dan dalam beberapa kasus satu atau dua orang tentan dekat boleh melakukan hal itu. Kecuali dari itu bila anda berada di dalam halaman rumah anda, maka anda bebas dari publik. Hanya keluarga dekat yang berada di sekeliling anda. Geertz kemudian mengatakan bahwa karakter rumah Orang Bali adalah: Sesuatu yang amat hangat, humor, dan terbuka..Sesegera orang Bali melangkahkan kakinya ke pintu keluar menuju kejalan, melewati alun-alun, pasar, dan candi-candi. Ia menjadi lebih atau kurang seperti orang Jawa.


v PENGARUH PRIVASI TERHADAP PERILAKU


Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapat mengatur kapan hams berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri. Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang tentang dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan. Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap infomasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.


Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri ke Dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berurusan dengan orang-orang yang “sulit”. Sementara hal yang senada diungkapkan oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari. Selain itu, privasi juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal dan menilai diri sendiri (Altman, 1975; Sarwono, 1992; Holahan, 1982). Proses mengenal dan menilai diri ini tergantung pada kemampuan untuk mengatur sifat dan gaya interaksi sosial dengan orang lain. Bila kita tidak dapat mengontrol interaksi dengan orang lain, kita akan memberikan informasi yang negatif tentang kompetensi pribadi kita (Holahan, 1982) atau akan terjadi proses ketelanjangan sosial dan proses deindividuasi (Sarwono, 1992).


Menurut Westin (dalam Holahan, 1982) dengan privasi kita juga dapat melakukan evaluasi diri dan membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri (privasi autonomy). Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.


Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis Dari privasi dapat dibagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks di dalam kelompok sosial; kedua, privasi membantu kita memantapkan perasaan identitas pribadi.


Menurut Fisher dkk. (1984), salah satu aspek yang sangat penting dari desain ruang dalam ialah jumlah privasi yang disediakan. Kita kadangkala membutuhkan nya agar dapat “pergi dari semuanya”. Desain arsitektur dapat dilakukan dengan menambah atau mengurangi kemudahan orang melakukan hal tersebut. Pada beberapa seting sulit bagi kita untuk “menyendiri”, sementara pada seting yang lain hal ini lebih mudah. Misalnya, asrama yangmenempatkan satu mahasiswa di suatu kamar akan meningkatkan lebih banyak privasi daripada dua orang di satu kamar. Demikian pula, pemanfaatan pembatas di sekitar daerah kerja seseorang dapat menambah kesan privasi tempat tersebut. Tidak demikian halnya dengan Altman (1975) yang berpendapat bahwa privasi adalah konsep sentral, yang berbeda dengan pandangan tradisional. Sebelumnya privasi dilihat sebagai proses dari keinginan untuk menjadi sendirian sampai keinginan untuk pergi dari orang lain (sebagaimana pendapat Fisher dkk. di atas). Para praktisi berdasarkan pendapat tersebut seringkali menterjemahkannya dalam rancangan pada area tersendiri di dalam rumah atau di tempat lain. Dalam pandangan Altman, privasi memiliki pendekatan yang lebih jauh, yaitu sebagai “perubahan dari proses pengaturan pembatas diri atau orang lain terhadap seseorang atau kelompok, dari keinginan untuk terpisah dari orang lain pada suatu saat sampai keinginan untuk berhubungan dengan orang lain pada saat yang lain”.


Altman menggambarkan privasi sebagai proses dialektika, dimana dihadirkan dua hal: sesuatu keinginan untuk berhubungan dengan orang lain dan sesuatu keinginan untuk menghindari orang lain; dengan cara yang dominan pada saat tertentu dan pada saat yang lain menjadi lebih kuat. Sebagai gambaran ringkasnya adalah ketika seseorang menjadi sendirian untuk jangka waktu yang terlalu lama (isolasi) dan menjadi satu atau bersama-sama dengan orang lain dalam jangka waktu yang terlalu lama juga adalah sesuatu hal yang tidak menyenangkan. Untuk menterjemahkan pandangan ini ke dalam desain praktis adalah hal yang tidak mudah. Prinsip umum yang kita pakai adalah merancang suatu lingkungan yang responsif, yang memungkinkan kemudahan bagi keterpisahan maupun kebersamaan. Suatu mangan seyogyanya responsif terhadap perubahan keinginan pemakainya untuk berhubungan atau tidak berhubungan dengan orang lain sesuai dengan kebutuhan. Lingkungan yang menekankan kemungkinan sedikitnya interaksi atau justru kemungkinan lebih banyak menerima informasi adalah lingkungan yang dianggap statis dan tidak responsif terhadap perubahan kebutuhan privasi. Seorang perancang hendaknya mencoba menciptakan lingkungan yang memungkinkan adanya perbedaan tingkat kendali dalam hubungannya dengan orang lain. Salah satu contoh adalah pintu, yang merupakan contoh sederhana dari desain yang responsive dan memungkinkan pengaturan interaksi sosial. Terbukanya pintu berarti suatu keinginan untuk kontak sosial, sedangkan tertutupnya pintu berani keinginan untuk tidak berhubungan dengan orang lain (Altman, 1975). Pada hakikatnya, dinding-dinding dan pintu-pintu yang disediakan oleh rumah kita besar kemungkinannya adalah mekanisme paling umum yang sesungguhnya kita gunakan untuk mengelola privasi. Bahkan beberapa studi melaporkan bahwa terdapat hubungan antara individu dengan privasinya melalui faktor eksterior-(mang luar), seperti ukurannya yang besar atau jaraknya yang lebar dengan tetangga. Jika suatu rumah berukuran besar, maka privasi bukanlah menjadi masalah, kecuali jika karena terlalu besamya rumah dengan sedikitnya jumlah anggota keluarga justru akan menjadikan anggota keluarga menjadi terisolasi dan teralinasi satu sama lain (Gifford, 1987). Lang Sependapat dengan Altman, Lang (1987) melihat bahwa penggunaan dinding, tirai pembatas, j arak, ataupun pembatas teritorial secara simbolis atau nyata, merupakan mekanisme untuk mencapai privasi dimana seorang perancang dapat mengembangkannya dalam berbagaimacam cara. Pennukaan dinding dengan berbagai macam sifat seperti tembus’ cahaya, tembus pandang, atau tembus suara akan dapat menghubungkan jalannya informasi dari suatu tempat ke tempat lain, atau dari yang kurang privasinya ke yang lebih banyak privasinya. Suatu desain rumah tinggal dapat mempengaruhi perasaan privasi secara langsung ialah dengan cara meningkatkan atau mengurangi kemungkinan melihat dan dilihat oleh orang lain. Ini mengacu kepada penyerapan visual, dimana kesan privasi lebih sulit dicapai ketika orang masih bisa dilihat. Jika anda hidup di rumah kaca dan bisa melihat orang di luar atau sebaliknya, perasaan privasi anda akan lebih kecil dibandingkan jika anda dapat menghalanginya. Sesuai dengan hal ini, suatu penelitian menunjukkan bahwa pembatas yang menghalangi pandangan orang lain akan mengurangi pengaruh orang tersebut sementara pembatas yang tidak menutup pandangan (misalnya panel tembus pandang) tidak mengurangi pengaruh orang lain (Fisher dkk., 1984). Tetapi apakah privasi dapat dicapai hanyadengan pembatas fisik yang mengalangi penglihatan saja ?Salah satu studi menarik pemah dilakukan oleh Leo Kuper (dalam Lang, 1987) terhadap pengembangan rumah-rumah di Inggris. Dalam studinya terhadap rumah kopel, Kuper menemukan bahwa para penghuni mendapati kesulitan dalam mencapai privasi, karena walaupun privasi secara visual mereka tercapai tetapi tidak demikian halnya dengan privasi secara pendengaran. Pengaturan dinding tidak mencukupi untuk mencapai privasi, lokasi pintu seperti itu membuat sulit untuk menempatkan posisi tempat tidur. Para penghuni mengeluh bahwa mereka mendengar terlalu banyak apa yang terjadi pada tetangga mereka dan agaknya kehadiran tetangga akan menghalangi perilaku mereka sendiri. Privasi dalam Konteks Budaya. Menurut Altman (1975) “privasi keluarga” di dalam rumah pada rumah-rumah di daerah pinggiran Amerika Serikat umunya dijadikan tempat untuk berinteraksi sosial dalam keluarga. Rumah-rumah di sana, menggunakan ruang-ruang tertentu seperti ruang baca, ruang tidur, dan kamar mandi sebagai tempat untuk meyendiri dan tempat untuk berpikir. Dengan cara itu seseorang yang tidak memiliki cukup ruang di dalam rumah dapat memperoleh privasi secara maksimal. Selama ini kita terpaku bahwa suatu desain tertentu memiliki fungsi tunggal, sebagai ruang untuk berinteraksi secara terbatas atau sebaliknya secara berlebihan, tetapi bukan untuk fungsi keduanya sekaligus. Oleh karena itu, untuk mencapai privasi yang berbeda kita harus pergi ke su atu tempat lain. Kita tidak pernah berpikir untuk memiliki ruang yang sama untuk beberapa fungsi serta dapat diubah sesuai dengan kebutuhan kita. Untuk berubahnya kebutuhan, kita tidak perlu mengubah tempat. Prinsip ini telah dipakai oleh orang Jepang, dimana di dalam rumah dinding dapat dipindah-pindahkan ke luar dan ke dalam ruangan. Satu area yang sama kemungkinan dapat difungsikan untuk makan, tidur, dan interaksi sosial dalam waktu yang berbeda. Logikanya adalah bahwa penggunaan lingkungan yang mudah diubah-ubah tersebut adalah cara agar lingkungan tersebut fleksibel terhadap perubahan kebutuhan pivasi.


C. RUANG PERSONAL



1. Pengertian Ruang Personal


Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz, pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).



Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Altman, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang deangan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak atau daerah di sekita individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.



Ruang personal adalah ruang di sekeliling individu yang selalu dibawa kemana saja orang pergi, dan orang akan merasa tergangu jika ruang tersebut diinterferensi (Gifford, 1987). Artinya, kebutuhan terhadap ruang personal terjadi ketika orang lain hadir. Ketidakhadiran orang lain, kebutuhan tersebut tidak muncul. Ruang personal biasanya berbentuk buble dan bukan semata-mata ruang personal tetapi lebih merupakan ruang interpersonal. Ruang personal ini lebih merupakan proses belajar atau sosialisasi dari orang tua. Seringkali orang tua terutama ibu atau anak diminta memberikan ciuman kepada saudaranya. Anak mempelajari aturan-aturan bagaimana harus mengambil jarak dengan orang yang sedah dikenal dan orang yang belum dikenalnya. Oleh karenanya, pengambilan jarak yang tepat ketika berinteraksi dengan orang lain merupakan suatu cara untuk memenuhi kebutuhan ruang personal diri dan orang lain.



Fungsi ruang personal adalah untuk memndapatkan kenyamanan, melindungi diri, dab merupakan sarana komunikasi. Salah satu penelitian besar mengenai ruang personal dilakukan oleh Edward Hall yang bertu tersebut dikaitkan dengan aktivitas setting tersebut. Jika setting dirancangjuan meneliti ruang personal sebagai cara mengirimkan pesan. Menurut Hall, ada kebutuhan dasar manusia untuk mengelola ruang yang disebut dengan proxemics. Dengan memperhatikan jarak yang digunakan antar orang yang sedang berbicara, pengamat dapat menyimpulkan seberapa jauh kualitas hubungan interpersonal mereka. Jarak 0 – 45 cm dikategorikan sebagai jarak intim. Jarak personal dilakukan dalam jarak 3,5 – 7 meter. Jarak intim dilakukan oleh orang yang memang benar-benar mempunyai kualitas hubungan psikis sangat erat, jarak personal, dilakukan dalam berinteraksi dengan teman atau sahabat, jarak sosial dilakukan individu yang tidak dikenal atau transaksi bisnis, sedangkan jarak publik dilakukan oleh para public figure (Fisher, 1984; Gifford, 1997).



Apalagi teori ruang personal terhadap rancangan lingkungan fisik adalah apakah fungsi utama dari lingkungan fisik tersebut dikaitkan dalam setting tersebut. Jika setting dirancang untuk memfasilitasi hubungan interpersonal maka rancangan model sosiofugal yang diperlukan, seperti ruang keluarga, ruang makan ataupun ruang tamu. Sebaliknya, jika setting dirancang untuk tidak memfasilitasi hubungan interpersonal maka rancangan sosiopetal yang diperlukan seperti ruang baca di perpustakaan dan ruang konsultasi.



Ruang personal adalah ruang di sekitar individu yang tidak mengijinkan individu lain memasukinya (Holahan, 1982). Biasanya, ruang tersebut digambarkan sebagai gelembung yang tidak tampak, menyelimuti seseorang, dan dibawa kemana saja. Sifat lainnya adalah dinamis dan berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Namun demikian, ruang personal dikontrol kuat oleh seseorang. Jika terjadi pelanggaran, dianggap sebagai ancaman. Hal ini disebabkan oleh fungsi ruang personal adalah melindungi harga diri seseorang (Dosey & Meisels dalam Gifford, (1987), sehingga menurut teori beban lingkungan, stimulasi informasi tetap dalam kondisi optimal . Ruang personal bagi Altman (Brigham, 1991) merupakan salah satu upaya meningkatkan privasi. Cara memperoleh ruang personal dengan merancang bangunan fisik yang menghambat interaksi sosial (latar sosiopetal). Latar sosiopetal terlihat pada meja makan yang dikelilingi tempat duduk yang saling menatap, sedangkan latar sosiofugal terlihat pada tempat duduk di ruang tunggu pelabuhan udara (Osmond dalam Gifford, 1987).



Banyak penelitian tentang jarak proksemik yang telah dilakukan, varian yang didapat antara lain jarak intim (0 – 0,45 m), jarak pribadi (0,45 – 1,2 m), jarak sosial (1,2 – 3,6 m), jarak publik (>3,6 m). Jika dibagi menjadi subfase pada masing-masing jaraknya, akan didapat hal sebagai berikut :


• Jarak intim
Fase dekat (0-15 cm) : perlindungan dan kasih sayang, pandangan tidak tajam, tidak perlu suaraü
Fase jauh (15-45ü cm) : jarak sentuh, tidak layak di muka umum, pandangan terdistorsi, bau tercium, suara berbisik.



• Jarak pribadi
Fase dekat (0,45-0,75 m) : mempengaruhi perasaan, pandangan terganggu, fokus lelah, tekstur jelas.ü
Fase jauh (0,75-12 m) ; pembiacaraan soal pribadi, pandangan baik, suara jelas atau perlahan.ü



• Jarak sosial
Fase jauh (2,1-3,6 m) : melihat diri formalitas.ü
Fase dekat (1,2-2,4 m) : dominasi dan kerja sama.ü



• Jarak publik
Fase jauh (ü>7,5 m) : pembicara dengan audiens.
Fase dekat (3,6-7,5 m) : belum saling kenal.ü



Studi menunjukkan bahwa perbedaan individu dan situasi selain menentukan jarak personal juga mempengaruhi orientasi tubuh seseorang terhadap orang lain. Salah satunya adalah variabel jenis kelamin, misalnya laki-laki menyukai berhadapan (muka-muka) dengan orang yang disukainya, sementara perempuan lebih suka memilih posisi bersebelahan.



Hal ini dibuktikan oleh penelitian Byne, Baskett, dan Hodges (1971) yang melakukan eksperimen, dimana subjek laki-laki dan perempuan dimasukkan ke dalam ruang yang memiliki posisi duduk bersebelahan dan berhadapan dan terdiri dari dua kelompok orang ; yang disukainya dan yang tidak disukainya. Subjek perempuan memilih duduk bersebelahan dengan kelompok yang disukainya.



2. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya


Dalam studi lintas budaya yang berkaitan dengan ruang personal, Hall (dalam Altman, 1976) mengamati bahwa norma dan adat istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruangnya, susunan perabot, konfigurasi tempat tinggal dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya. Contohnya, orang Jerman lebih sensitif terhadap gangguan, memiliki gelembung ruang personal yang lebih besar dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Orang-orang Perancis berinteraksi dengan keterlibatan yang lebih dalam. Kebiasaan mereka berupa rasa estetika terhadap fashion merupakn bagian dari fungsi gaya hidup dan pengalaman.


Daftar Pustaka :


- West, Richard. 2007. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi Edisi ke 3. Penerbit : Salemba Humanika


- Prabowo, Hendro.1998. Arsitektur,Psikologi dan Masyarakat. Penerbit : Universitas Gunadarma


- elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf.
elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/...lingkungan/bab6-privasi.pdf



- Anonim. (2003). Bab 2 Kajian Pustaka. http://repository.upi.edu/operator/upload/s_e0151_044161_chapter2.pdf. 19 April 2011.



- Fadilla Helmi, Avin. (1999). Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf. 19 April 2011.